Ketapang, thetanjungpuratimes.com-Dampak pembukaan hutan untuk perkebunan sawit mulai dirasakan oleh warga Desa Tanjungpura, Kecamatan Muara Pawan, Kabupaten Ketapang.
Dalam beberapa bulan terakhir, laporan akan kehadiran dan gangguan orangutan ke kebun masyarakat semakin meningkat, mulai dari tanaman pisang, buah nangka dan juga asam kandis.
Warga melaporkan tidak kurang dari tujuh gangguan orangutan di kebun warga bulan Mei ini.
“Orangutan ini mengambil buah nangka dan asam kandis dari kebun kami dan membawanya lari ke hutan,” ujar Salphia (40), salahseorang warga Dusun Batu Pura, yang termasuk di dalam kawasan Desa Tanjungpura.
“Padahal buah-buahan itu merupakan sumber penghasilan kami,” tambahnya lagi.
Menindaklanjuti laporan ini, Yayasan International Animal Rescue Indonesia (YIARI) menerjunkan tim mitra mitigasi konflik manusia-orangutan untuk melakukan verifikasi dan survey ke hutan yang tersisa di Tanjungpura. Hasilnya, tim mitra melaporkan bahwa di hutan yang tersisa sudah tidak ada lagi makanan untuk orangutan.
“Ditambah lagi kondisi hutan sekarang terputus-putus akibat kebakaran hutan 2015 silam,” jelas Syarifuddin, anggota tim mitra YIARI. Tidak heran orangutan-orangutan ini masuk ke kebun warga untuk mencari makan.
Hasil survei tim konflik orangutan-manusia YIARI pada tahun 2014 menunjukan bahwa potensi konflik di Desa Tanjungpura termasuk tinggi, karena padatnya populasi orangutan di hutan sekitar desa. Hasil survei ini telah disosialisasikan kepada masyarakat desa dengan rekomendasi agar tidak membuka wilayah hutan tersebut, karena apabila dibuka konflik langsung atau gangguan orangutan ke wilayah perkampungan akan meningkat.
Meskipun demikian, ekspansi perusahaan sawit pada akhir tahun 2015 tetap tidak terelakkan. Hutan Desa Tanjungpura ini tetap dikonversi menjadi lahan perkebunan sawit. Luas hutan yang akan dijadikan lahan sawit ini mencapai 1.400 hektare.
Alasan ekonomi dan kebutuhan akan lapangan pekerjaan membuat sebagian besar warga menyetujui pembukaan lahan sawit di desa mereka. Meskipun demikian ada pula warga yang tidak setuju dengan pembukaan lahan ini dengan alasan kelestarian lingkungan.
“Kami khawatir Desa Tanjungpura akan mengalami konflik orangutan-manusia yang parah, seperti Desa Mayak yang ada di sebelah DesaTanjungpura. Sudah lebih dari dua tahun mereka mengalami konflik ini,” ungkap Koordinator Human-Orangutan Conflict Response Team (HOCRT) YIARI, Juanisa.
“Desa Mayak yang sudah terkepung oleh perkebunan sawit mencatatkan 40 laporan konflik pada tahun 2014 dan meningkat menjadi 65 laporan pada tahun 2015,” tambahnya lagi.
“Pengaturan bentang alam bagi orangutan dapat dilakukan untuk mengatasi masalah ini. Pada intinya kita berusaha untuk membuat hutan-hutan yang tersisa saling terkoneksi sehingga membentuk koridor bagi orangutan. Harapannya, dengan koridor ini, orangutan dapat berpindah ke daerah lain untuk mencari makan dengan tetap berada di dalam kawasan hutan sehingga tidak menganggu masyarakat. Tantangannya adalah menjalin kerjasama dengan semua pihak, terutama dengan pemilik perkebunan sawit dan pemerintah agar skema ini segera tercapai,” ujar Manager Program YIARI, Gail Campbell-Smith.
(YIARI/Muhammad)
Sumber: http://thetanjungpuratimes.com/2016/06/07/dampak-pembukaan-perkebunan-sawit-konflik-orangutan-dan-manusia-di-desa-tanjungpura/