Ikuti Kuy Serunya Survei Populasi Monyet Ekor Panjang di Pulau Jawa, Sumatera, dan Kalimantan

23 Agu 2023
Admin YIARI

Ikuti Kuy Serunya Survei Populasi Monyet Ekor Panjang di Pulau Jawa, Sumatera, dan Kalimantan

oleh | Agu 23, 2023

Mendaki gunung lewati lembah, sungai mengalir indah ke samudra, bersama teman bertualang, tempat yang baru belum pernah terjamah🎵. Mungkin lagu dari kartun Ninja Hatori  itulah yang cocok dinyanyikan untuk menggambarkan petualangan Tim Makaka yang habis berkelana kemarin! Kemana dan ngapain ya mereka? Mencari kitab sakti seperti Sun Go Kong kah? Yuk ikuti ceritanya!


Pada periode Mei – Juli 2023, Tim Makaka kami yang terdiri dari Kang Itang, Kang Amun Nawawi, Kang Dadang, Kang Yudi, Kang Ruli, Kang Hermawan, secara bertahap dan bergantian berkelana ke empat pulau di tiga provinsi. Pulau tersebut di antaranya ialah Pulau Karimunjawa di Jawa Tengah, Pulau Maratua di Kalimantan Timur, Pulau Lasia dan Pulau Simeulue di Aceh. Ketika di Pulau Karimunjawa, Tim Makaka tersebut juga dibantu Kang Riki, Kang Uci dari divisi resiliensi habitat. Nah, mereka kesana bukan untuk mencari kitab sakti seperti Sun Go Kong ya Sob hehe, melainkan mencari pembuktian keberadaan dan estimasi populasi makaka atau monyet ekor panjang (MEP) atau Macaca fascicularis dengan metode survei cepat.

Pengamatan makaka di Pulau Maratua (Tim Makaka | Yayasan IAR Indonesia)

Sobat #KonservasYIARI tahu gak kalau status konservasi global MEP baru-baru ini diperbarui menjadi terancam punah pada red list atau daftar merah IUCN. Spesies ini juga terdaftar dalam Apendiks II di CITES, yang artinya spesies ini mungkin terancam punah bila perdagangan terus berlanjut tanpa adanya pengaturan.

Namun, hanya ada sedikit bukti ilmiah tentang ukuran populasi aktual dan distribusi monyet ekor panjang di seluruh Asia Tenggara, Sob. Dari beberapa studi sih, banyak yang menunjukkan perbedaan antara persepsi kelimpahan dan kepadatan MEP sebenarnya, beberapa juga menunjukkan penurunan.
Di Indonesia ada empat subspesies MEP yang memerlukan penelitian lebih lanjut, diantaranya M.f. fuscus (Pulau Simeulue), M.f. karimondjawae (Kepulauan Karimunjawa), M.f. lasiae (Pulau Lasia), dan M.f. tua (Pulau Maratua). Oleh karena itu, Tim Makaka pun turun ke lapang untuk memberikan tambahan data subspesies monyet ekor panjang yang hidup di pulau-pulau terluar di Indonesia tersebut.

Perjalanan menuju lokasi pengamatan di Pulau Karimunjawa (Tim Makaka | Yayasan IAR Indonesia)

Pengamatan dilakukan dengan metode langsung terkonsentrasi (concentration count), yaitu pengamatan pada titik yang diduga sebagai tempat dengan peluang perjumpaan satwa yang tinggi. Pertama, Tim Makaka menentukan lokasi survei cepat melalui studi literatur, riwayat perjumpaan sebelumnya, laporan dan wawancara dengan petugas setempat, juga wawancara dengan organisasi, komunitas lokal, dan masyarakat sekitar. Lalu mulai deh Tim Makaka melakukan pengamatan berdasarkan informasi tersebut.Pengamatan pun dilakukan pada tempat berkumpulnya satwa seperti tempat minum, makan, pohon tidur,  maupun tempat yang sering dilintasi oleh satwa.

Di lapangan, Tim Makaka pun mengidentifikasi morfologi, juga menghitung jumlah dan komposisi MEP, serta mendokumentasikan MEP. Gak hanya data MEP yang mereka kumpulkan, informasi mengenai gambaran interaksi masyarakat dengan MEP juga dikumpulkan melalui wawancara langsung pada warga lokal. 

Proses wawancara dan Edukasi terkait MEP (Tim Makaka | Yayasan IAR Indonesia)

Ketika pindah berkala pulau ke pulau, Tim Makaka harus berhadapan tantangan dan kejadian menarik nih Sob. Tantangan yang dialami antara lain akses yang jauh, cuaca, juga adaptasi dengan berbagai macam kondisi masyarakat lokal secara sosial. Lebih seru lagi, ada beberapa cerita menarik ketika Tim Makaka berada di Pulau Lasia. Mungkin kenalan sedikit dulu ya dengan Pulau Lasia, pulau tidak berpenghuni yang berada di sebelah barat Pulau Sumatera, dan berbatasan langsung dengan Samudra Hindia.

Kondisi lingkungan Pulau Lasia (Tim Makaka | Yayasan IAR Indonesia)

Beberapa bagian pada pulau ini sebetulnya ada yang dimanfaatkan masyarakat untuk berkebun, namun sudah sekitar satu tahun ditinggal oleh para petani sehingga rumput dan ilalang di Pulau tersebut tinggi, hutannya pun sangat lebat. Pulau ini tuh memiliki seorang yang disebut dengan “Panglima Laut”, yaitu sosok yang tahu kondisi cuaca laut hanya dengan menatap laut dan kondisi sekitar dari kejauhan, keren banget bukan?

Di Pulau Lasia, tantangan awal yang dialami Tim Makaka adalah sulitnya mereka masuk ke bagian dalam pulau karena vegetasi yang begitu lebat sehingga pengamatan dilakukan dengan mengelilingi kawasan hutan yang ada di pinggir pulau. Tantangan selanjutnya datang ketika mereka selesai melakukan pengamatan. Tim yang awalnya berangkat dari camp ke lokasi pengamatan dengan berjalan kaki, tidak bisa kembali dengan jalan kaki. Mereka pun harus dijemput kapal yang dinahkodai oleh bukan sembarang orang melainkan oleh sang Panglima Laut!

Hal ini terjadi karena kegiatan pengamatan selesai terlalu larut, yaitu pada pukul 20.00 dengan kondisi pulau yang benar-benar gelap, dengan air yang mulai pasang, juga banyak karang sekitar pulau yang terjal sehingga sangat tidak memungkinkan kembali dengan berjalan kaki. Tapi proses mereka naik ke kapal tersebut juga tak semudah itu Sob! Mereka harus berenang dulu untuk bisa naik ke kapal tersebut, jadi dibantu dengan pelampung yang dilemparkan dari kapal.

Tim Makaka ini pun sempat mengalami kehabisan air ketika berada di Pulau Lasia😭. Untung saja di pulau tersebut banyak pohon kelapa, jadi tinggal panjat pohon kelapa tersebut aja deh supaya bisa minum, lumayan dapat bonus daging kelapa juga hehe. Memang ya setelah kesulitan pasti ada kemudahan! Ketika kembali dari Pulau Lasia menuju Pulau Simeulue, tim juga mendapat tantangan lain yaitu harus melewati angin kencang dan ombak laut yang tidak tenang, bahkan badan seluruh Tim Makaka  pun sampai basah kuyup.

Setelah melalui perjalanan panjang dengan berbagai cuaca dan kondisi lapang, tentunya Tim Makaka gak pulang dengan tangan kosong dong Sob, mereka juga membawa hasilnya survei cepatnya! Secara umum, hasilnya menunjukkan bahwa terdapat keberadaan MEP di masing-masing pulau.  Ada banyak tantangannya untuk kelestarian MEP, juga satwa lain di pulau ini yang mungkin butuh penelitian lebih lanjut. Interaksi antara MEP dengan manusia di pulau-pulau tersebut juga cukup tinggi, dengan tantangan berbeda pada masing-masing pulau, seperti pariwisata, juga perkebunan. Kesamaan 3 pulau tersebut, kecuali Pulau Lasia yang tidak berpenghuni adalah MEP lebih banyak ditemui di pinggir hutan atau di wilayah yang dekat dengan masyarakat.

Potret MEP di Pulau Simeulue yang disebut masyarakat sebagai lutung (Tim Makaka | Yayasan IAR Indonesia)

Oiya ada info menarik juga nih tentang panggilan masyarakat kepada MEP. Masyarakat Pulau Maratua menyebut MEP sebagai “kuya”, kemudian masyarakat Pulau Simeulue menyebut MEP sebagai “lutung”. Mungkin mereka mengira MEP tersebut adalah lutung karena warnanya yang cenderung lebih gelap, padahal ada beberapa masyarakat yang tahu bentuk lutung yang sebenarnya.

Seperti pada Pulau Karimunjawa, Maratua, dan Simeulue, kehidupan manusia dan satwa liar seperti MEP secara berdampingan tidak bisa terelakkan. Yang bisa kita lakukan diantaranya adalah menghindari kontak fisik dengan satwa, tidak memberi makan satwa tersebut, juga dengan menjaga lingkungan! Menjaga lingkungan bisa dilakukan dengan membuang sampah pada tempatnya, bahkan lebih baik lagi jika mengolah sampah organik dengan benar agar satwa liar tidak memakan dari kumpulan limbah organik tersebut!

Kegiatan ini tentunya bisa berlangsung berkat dukungan berbagai pihak terkait. Oleh karena itu kami dari YIARI ingin mengucapkan terima kasih kepada Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati Spesies dan Genetik (KKHSG), Taman Nasional Karimunjawa, BKSDA Kalimantan Timur, BKSDA Aceh, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aceh, BKPH Simeulue, Ecosystem Impact, dan seluruh pihak yang sudah mendukung kegiatan survei ini.

Semoga aktivitas ini dapat meningkatkan pemahaman dan informasi terkait keberadaan subspesies monyet ekor panjang dan dapat berkontribusi untuk ilmu pengetahuan di masa yang akan datang! 😊

Fathia Rosatika

Dukung satwa-satwa dilindungi Indonesia dengan membagikan kisah ini di sosial mediamu atau ikut berdonasi untuk satwa-satwa di pusat rehabilitasi kami dengan mengklik link di sini.

Dukung satwa-satwa dilindungi Indonesia dengan membagikan kisah ini di sosial mediamu atau ikut berdonasi untuk satwa-satwa di pusat rehabilitasi kami dengan mengklik link di sini.

Kabar YIARI

7
Apr 1, 2024

Perlu Diketahui! 7 Jenis Plastik ini Sering Kita Pakai 

Sobat #KonservasYIARI pada mulanya plastik diciptakan manusia sebagai pengganti paper bag, loh! Seiring berjalannya waktu plastik diproduksi secara besar-besaran.  Tidak hanya itu, kini plastik sudah menjadi pencemar lingkungan seperti kemasan plastik sekali...

7
Mar 25, 2024

Yuk Kenali Primata Indonesia dengan Status Kritis di Alam!

Kata pepatah tak kenal maka tak sayang. Oleh sebab itu Sobat #KonservasYIARI harus kenal dengan primata di Indonesia yang memiliki status Critically Endangered (CR) atau kritis di alam. Primata yang memiliki status konservasi kritis di alam menandakan bahwa primata...

Artikel Terkait