Di tengah bayangan kelam akan habisnya sumber daya hutan, muncul secercah harapan baru di Desa Batu Lapis.
Deli, seorang pemuda desa yang dulunya hidup dari menebang kayu, kini menemukan cara lain untuk bertahan—melalui biji kopi. Langkah kecil yang ia ambil ini perlahan mengubah bukan hanya hidupnya, tetapi juga masa depan desanya.
Ketidakpastian Masa Depan di Desa Batu Lapis
Moses, seorang ayah dari tiga anak, kerap merenung memikirkan masa depan keturunannya. Ia sadar bahwa sumber daya alam di hutan kian menipis.
“Mungkin generasi kami masih bisa bertahan, tapi bagaimana dengan anak cucu kami?” ujarnya saat berbincang di teras rumahnya.
Selama puluhan tahun, Moses telah bekerja sebagai penebang kayu di hutan Kalimantan. Sebagai bagian dari suku Dayak, Moses menggantungkan hidup dari hasil hutan.
Bertani dan menebang kayu ulin adalah pekerjaan utama mayoritas warga di Desa Batu Lapis, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Dalam dua dekade terakhir, pekerjaan ini memang telah memajukan desa. Kondisi ekonomi masyarakat semakin membaik.
“Dulu rumah-rumah di sini kecil, tapi sekarang sudah lebih besar, dan kami bisa membangun jalan untuk mempermudah transportasi,” cerita Moses.
Namun, ia menyadari ketergantungan pada penebangan kayu tak bisa selamanya diandalkan. Peraturan pemerintah yang semakin ketat terkait logging menjadi tekanan bagi warga desa.
“Kami tentu ingin mencari pekerjaan lain yang lebih aman dan tidak lagi merusak hutan,” kata Moses dengan penuh harap.
Deli dan Clarisa: Harapan Baru untuk Masa Depan Desa
Harapan itu kini mulai terlihat, berkat usaha dua anak muda dari Desa Batu Lapis, Deli dan Clarisa.
Mereka adalah lulusan dari Kahiu Academy–sebuah program pendampingan untuk anak-anak putus sekolah yang diinisiasi oleh Yayasan Inisiasi Alam Rehabilitasi Indonesia (YIARI). Setelah mengikuti pelatihan, Deli dan Clarisa didampingi untuk mengembangkan usaha mandiri, seperti mengajar anak-anak atau bercocok tanam.
“Jika ada edukasi untuk anak-anak, serta pelatihan dan pendampingan bagi warga, seperti dalam bertani, ini bisa menjadi harapan bagi kami ke depan,” kata Moses dengan senyum optimis.
Membangun Perkebunan Kopi di Desa Batu Lapis
Suatu pagi, sebuah kapal kayu melaju di atas sungai Biha yang surut akibat kemarau.
Di atasnya, Deli dengan pendamping dari YIARI duduk bersiap menuju ladang.
Sesampainya di ladang, Deli segera mempersiapkan peralatan untuk berkebun. Ia berjalan melewati jalan setapak menuju ladangnya, di mana sepuluh bedeng tanaman sudah ia siapkan.
Di tengah ladang, berdiri rumah semai dengan terpal hitam yang menaungi daun-daun semai kopi yang mulai tumbuh. Dengan hati-hati, Deli menyirami tanaman yang akan menjadi cikal bakal perkebunan kopi pertama di Desa Batu Lapis.
Sebelum terjun ke dunia pertanian, ia bekerja sebagai penebang kayu dan pemburu satwa. “Dulu saya menebang kayu dan berburu, tapi saya sadar pekerjaan ini tidak cocok untuk saya,” ujarnya.
Pertemuan dengan Kahiu Academy mengubah hidupnya. Ia tertarik dengan ilmu pertanian yang diajarkan dalam program tersebut dan mengikuti pelatihan selama empat bulan di Ketapang.
Setelah lulus, Deli dikirim ke Lampung untuk belajar lebih dalam tentang budidaya kopi, termasuk teknik penyemaian, pembibitan, hingga penanaman.
Pemilihan kopi sebagai tanaman utama bukan tanpa alasan.
“Di Desa Batu Lapis, kebanyakan warga menanam sawit yang penyimpanannya itu hanya bertahan 2 hari paling lama. Sementara biji kopi itu bisa disimpan lebih lama, dikeringkan dan disimpan berbulan-bulan,” ungkap Deli.
Selain itu, hasil kopi bisa saya kirim ke kota dengan motor, jadi ini lebih praktis bagi saya,” tambahnya. Ini menjadi solusi yang lebih efektif bagi Deli yang masih belum memiliki kendaraan besar untuk transportasi hasil tani.
Harapan Baru untuk Masa Depan Desa
Bagi Deli, perkebunan kopi adalah harapan baru. Dukungan dari keluarga dan teman-temannya semakin menguatkan tekadnya.
“Saya berharap, usaha ini bisa menginspirasi warga lain. Jika banyak yang mengikuti, kehidupan masyarakat bisa lebih baik, ekonomi desa meningkat, dan lingkungan pun terjaga dari kerusakan hutan,” katanya dengan penuh semangat.
Dieka, manajer program Kahiu Academy, ikut serta meninjau perkembangan Deli dan Clarisa.
“Kahiu Academy ditujukan untuk anak-anak putus sekolah agar mereka memiliki keterampilan dan bisa mandiri,” jelas Dieka.
Program ini diperuntukkan bagi pemuda usia 17-25 tahun, dengan pelatihan intensif selama empat bulan yang mencakup berbagai materi, mulai dari pertanian hingga kesetaraan gender.
“Kami berharap para peserta dapat mengamalkan ilmu yang mereka dapatkan untuk diri sendiri dan komunitasnya,” tambah Dieka.
Dengan 48 materi yang diberikan selama pelatihan, Dieka berharap akan ada lebih banyak “Deli” dan “Clarisa” lain yang bisa mengamalkan ilmu mereka untuk kebaikan diri sendiri dan komunitas.
Elvyra Aprillia